Tuesday

perayaan

ini bukan tulisan soal agama. atau soal katolik. atau islam. dan perbedaannya. bukan.

terlahir dari ibu nasrani dan ayah muslim, aku baru 'memilih' kepercayaan pada usia 8 tahun. karena, yah, aku tinggal bersama keluarga ibu dan sejak kecil pergi ke gereja, aku memutuskan menjadi nasrani dan dibaptis. untuk bisa mendapat sakramen baptis, jika bukan baptis bayi, seseorang harus dinyatakan lulus katekumen terlebih dahulu. jadi teknisnya, aku masuk katolik atas kemauanku sendiri, dan mempelajari alasan-alasannya.

sebentar, ini bukan entry soal agama. ini soal bagaimana, sebenarnya, agama tidak hanya bisa menjadi identitas spiritual, melainkan melebur menjadi tradisi masyarakat secara universal.

menjadi warga negara indonesia, beragama katolik artinya menjadi minoritas. aku bersekolah di sd swasta, sd santa maria, dan aku besar bersama orang-orang yang sama (meski sebenarnya menjadi orang jawa di tengah teman-teman yang beretnis tionghoa juga tetap menjadikan aku minoritas).

memasuki sekolah menengah, aku masih bersekolah di smp swasta tapi kali ini umum, aku berkenalan dengan heterogenitas. aku jawa dan dominan, tapi aku juga minoritas. berlajut ke sekolah menengah atas, syukurlah aku tidak pernah merasa kecil dan tidak pernah merasakan bullying. atau mungkin aku beruntung berada di lingkungan yang kebetulan selalu berpikiran terbuka.

di sd, aku merayakan natal dan paskah. di smp, aku ikut merayakan lebaran, ramadhan dan hari hari raya lain. ketika menjadi anak asrama, di sma, hal-hal berbau ritual keagamaan berlalu selama 24 jam setiap harinya.

lalu begini. (aku sudah bilang sebelumnya ini bukan tulisan soal agama. semua di atas itu hanya preambule yang mengilustrasikan tempat aku bertumbuh.) begini. aku melihat, bahwa dengan adanya dominasi umat islam, perayaan perayaan yang tadinya berbau keagamaan, sebenarnya tanpa disadari telah melebur menjadi tradisi di tengah masyarakat. silaturahmi dari rumah ke rumah (di daerahku disebut sjarah), nyekar ke makam-makam, bagi-bagi daging, dan masih banyak lagi. ketika bulan ramadhan tiba jalanan dipenuhi dengan orang-orang berjualan takjil, dimana mana orang orang berbuka puasa, anak-anak yang pergi merantau kembali pulang, orang-orang bersarung di gang kampung untuk berangkat tarawih, dan di depan rumah terdengar gelak tawa anak-anak saat takbiran.

menurutku, itu indah.

itu sebuah perayaan di tengah masyarakat di mana aku tinggal.

mungkin saat aku di bali akan beda lagi, upacara-upacara adat umat hindu bahkan telah menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari. seperti natal di eropa atau amerika. (walau aku gak akan membohongi realitas dunia; bahwa justru di amerika dan eropa atau negara-negara barat yang didominasi oleh orang nasrani, saking terlalu dominannya dan karena ritus-ritusnya telah melebur dalam keseharian masyarakat, orang-orang nasrani di sana menjadi agnostik--kalau di indonesia islam ktp, dan jemaat gereja gereja lebih didominasi orang-orang lanjut usia).

tapi kembali lagi. di sana, natal seperti menjadi perayaan yang universal. tidak menjadi selalu identik dengan kelahiran yesus (atau isa almasih) namun menjadi perayaan dan 'nuansa' di tengah masyarakat.

musim dingin dan salju.
kue kue.
kado kado.
anak-anak kecil dalam pakaian hangat.
that familiar sound when the bells ring.
film film keluarga dengan lagu indah diputar.
di mana mana orang memasang dedaunan, pohon cemara dan lonceng kecil. santa claus. lagu-lagu natal. di mana lagu-lagu natal juga tidak kemudian menjadi identik dengan lagu rohani atau lagu gereja. natal, thanksgiving, paskah di sana menjadi sebuah perayaan dan kehangatan.

hangat.

dan perayaan selalu indah jika dibagi.

No comments:

Post a Comment