Wednesday

Dikira malsu


Sinyal Wifi, Monyet, dan
Manusia Abad Dua Satu
Oleh Saveera Vivid


Dunia dan Roda Kempes
Seperti roda, dunia terus berputar. Tidak ke mana-mana memang, melainkan tetap pada porosnya. Yang terus bergerak adalah waktu. Seiring waktu melaju, kaki-kaki peradaban pun ikut mlaku. Entah pada suatu titik atau bertitik-titik lainnya, lahirlah banyak ilmuwan baru, orang-orang cerdas baru, yakni penemu-penemu baru. Ada yang menemukan hal yang sudah ditemukan orang lain, ada yang menemukan benda ketelisut, ada yang memalsu, dan ada yang terima-terima saja temuannya dipalsu.
Sama seperti roda, dunia juga bisa kempes. Bukan ulah para penabur paku yang senang kalau ada sasaran mendekat karena usaha tambal bannya akan laku, tapi ulah kita sendiri, makhluk-makhluk yang mengaku Manusia Abad Dua Puluh Satu. Para manusia yang bertahan dalam seleksi alam, meniti evolusi, dan membuktikan bahwa mereka bukanlah kerabat monyet. Bukan karena tidak mau disamakan―toh monyet juga bergerak, berkembang biak, beradaptasi, perlu makan, bahkan bernapas―hanya sayang, mereka yang dulunya dibilang masih kerabat kita itu begitu tidak manusiawi. Menurut kita, manusia itu pintar, berakal, berbudi, dan berpekerti. Manusia punya rasa malu, monyet tidak. Manusia butuh baju, monyet tidak. Manusia butuh internet, monyet tidak. Manusia butuh facebook dan twitter, monyet tidak. Manusia butuh sinyal wifi, monyet tidak. Manusia butuh oksigen, monyet yang mempertanyakan.

Manusia Abad Dua Satu
Manusia Abad Dua Satu sangat suka ngeksis. Pasang status di facebook, berharap di-like orang banyak. Pasang tweet, banyak retweet, tidak berhenti ngetweet. Makin banyak follower, makin banyak ngetweet. Manusia Abad Dua Satu suka yang praktis. Toko-toko online menjamur di mana-mana. Pesan sekali langsung datang, katanya. Wong jarak satu meter saja masih sms-an. Mendekatkan yang jauh, katanya. London-Indonesia pun terasa sedekat Anyer-Jakarta. Semua butuh internet. Mahasiswa, artis, sarjana, pengusaha, anak sekolah, tukang bakso, semua butuh jejaring sosial. Semua butuh eksitensi.  Semua ingin terkoneksi. Kemudian saat semua sudah terkoneksi, dunia akan meleburkan batas-batas ruang dan waktu. Dunia kembali bergulir. Semua seperti berjalan dengan lebih efisien. Meski efisien yang dimaksud adalah lupa makan, lupa mandi, lupa waktu, lupa bergerak, dan lupa bernapas. Seperti roda yang berputar. Seperti melaju, namun tetap pada porosnya. Yang tidak kentara, sudah mulai kempes.
Manusia Abad Dua Satu tidak mau repot. Sudah banyak yang membuat repot. Ada tagihan listrik, uang bensin, uang belanja istri, uang sekolah anak, dan pulsa paket internet. Boro-boro memikirkan reboisasi hutan, memikirkan timeline twitter saja bisa bikin keringat dingin. Lantas Manusia Abad Dua Satu ini mengaku sering galau. Pusing mikirin mantan, gebetan, bahkan paketan internet yang bisa habis tiba-tiba. Kalau sudah begini, banyak yang akan berbondong-bondong mengantre kopi di kafe-kafe agar bisa nunut wifi. Semua bawa laptop, salah, sudah ketinggalan zaman. Semua menenteng case berisi tablet keluaran terbaru dan handphone-handphone layar sentuh berkamera canggih. Ada yang datang untuk mengerjakan tugas, mengunduh email dari atasan, menuntaskan deadline, ada juga yang hanya untuk berfoto bersama makanan dan mengunggahnya lewat media foto elektronik. Sekali lagi, makin banyak yang ngelike, makin seringlah mereka berfoto dan mengunggahnya.
Manusia Abad Dua Satu tidak boleh ketinggan berita. Sembari mengerjakan tugas dari dosen, dibuatlah tab baru untuk mengintip apa yang dilakukan si mantan atau si gebetan. Diawali oleh sebuah unggahan status, sudah bisa dipastikan bermenit-bemenit (yang tidak bisa diperkirakan) selanjutnya, layar akan bertahan. Sebuah nama muncul menyambut tab-tab baru guna mencari tahu siapa orang-orang di balik nama tersebut. Lain halnya dengan urusan kerja. Beranda pesan elektronik yang selalu menampilkan berita teraktual dan menarik dijadikan kambing hitam saat halaman-halaman yang kemudian terbuka bukanlah email dari atasan, melainkan isu-isu terkini seperti putusnya pasangan artis ini dan cerainya pasutri itu. Kritik dilontarkan, gerutu kecewa berkeliaran. Kembali lagi, Manusia Abad Dua Satu sangat banyak pikiran.
Pikiran-pikiran tersebut memang tak selamanya buruk. Tugas sekolah, contohnya. Sudahlah dunia tahu, tak banyak siswa yang meminta tugas―selain menghindari tugas yang lebih besar. Untuk urusan itu, Manusia Abad Dua Satu tidak perlu khawatir. Para orang tua Manusia Abad Dua Satu sudah banyak yang berpikiran maju dan terbuka. Mereka selalu mengimbangi perkembangan anak dengan perkembangan serta tuntutan zaman. Para Manusia Abad Dua Satu menganggap sumber informasi dapat menyokong kebutuhan-kebutuhan mereka, termasuk di dalamnya pendidikan. Pendidikan bukan melulu lagi soal bangku sekolah atau ulangan harian. Sistem pembelajaran presentasi juga ikut membuat siswa beberapa kali disibukkan oleh pencarian data dari internet yang mengaku bisa menyediakan segala sumber informasi yang dibutuhkan mau pun tidak. Maka sekolah pun dilengkapi oleh hotspot area. Semakin lancar sinyal wifi, semakin baiklah citra sekolah tersebut karena dianggap maju dan canggih. Belum lagi karena tuntutan starndarisasi yang menyebabkannya begitu. Di mana-mana ada wifi. Di mana-mana ada pangkuan laptop dan tablet. Sederhana saja, Manusia Abad Satu ingin membuktikan eksistensinya pada dunia yang berseleksi alam ini. Manusia Abad Dua Satu tidak ingin disamakan dengan monyet, meski monyet menjadi lebih manusiawi karena lebih memusingkan soal kerusakan ekosistem dan bumi yang semakin panas. Entah karena sinyal wifi atau kurangnya pohon. Entah kaerna pemanasan global tidak lagi dianggap popular untuk menjadi bahan pembacaraan atau dianggap kasep, monyet tetap saja memusingkannya.
Penyebab kurangnya kepedulian Manusia Abad Dua Satu terhadap lingkungan sudah bukan rahasia lagi. Tidak banyak yang peduli, namun tidak sedikit juga yang mau bergerak. Banyak komunitas-komunitas bermunculan untuk mengumpulkan aksi terhadap lingkungan. Banyak artikel-artikel serta berita yang menampilkan fakta mengenai lingkungan, banyak pula yang berempati atasnya. Sudah makin banyak dukungan dan donasi yang dilakukan oleh berbagai pihak. Semakin banyak pula sinyal-sinyal wifi yang digunakan untuk mengklik halaman-halaman tersebut. Semakin banyak kopi-kopi dibeli dan dijadikan tujuan mengantre demi seutas sinyal wifi. Semakin banyak kafe-kafe dibuka. Semakin banyak sinyal wifi dipasang. Semakin banyak manusia peduli. Semakin tinggi pendapatan dari para pengusaha kafe. Semakin tergeraklah perekonomian di negeri-negeri Manusia Abad Dua Satu.
Di negeri Manusia Abad Dua Satu tidak ada batas ruang dan waktu. Semuanya bergerak, semuanya berputar. Seluruh komponennya maju ke depan, tidak ada yang ketinggalan. Jika ketinggalan akan dianggap kuno, lalu secara alamiah tersingkir. Mungkin tidak sendiri, tapi menyingkir bersama. Membuat komunitas sendiri, walau dianggap berbeda. Itulah seleksi alam pada zaman Manusia Abad Dua Satu. Alam yang sudah tidak alami. Alam yang hutan-hutannya dijejali sinyal wifi. Alam yang sudah tidak lagi membumi. Alam yang sudah mulai ditinggalkan karena dunia bukan lagi seonggok bumi, tapi pixel-pixel di ujung jari.
Bumi kempes. Hening. Jari-jari mengetik, pemanasan global dan cara menanggulanginya. Paru-paru dunia semakin menciut. Hening. Terdengar klik-klik para donator reboisasi hutan.
Sudahlah sangat indah saat ada tangan-tangan yang turun untuk menanam pohon-pohon guna membantu mereka yang dulu dianggap kerabat kita, monyet. Kasihan mereka, tidak lagi bernapas dengan sempurna. Ya, mereka memang berbeda dari kita yang masih enak terasa, walau kualitas napas menurun, karena masih ada sinyal wifi, ada hiburan. Maka mereka yang mulai berkeringat karena berkurangnya produksi oksigen dan memanasnya dunia, hanya bisa mewanti-wanti tempat bergantung saat dunia mulai kempes, mulai melesak ke dalam.
Dunia berputar. Peradaban melaju. Manusia Abad Dua Satu makin maju. Makin berbeda dari monyet. Makin tidak ketinggalan zaman. Makin meninggalkan alam, meninggalkan kodratnya untuk menjaga semesta. Meninggalkan tanggung jawab karena merasa sudah bisa mandiri. Merasa sudah berbuat banyak untuk dunia. Untuk kemajuan dan laju zaman. Untuk melancarkan perputaran roda yang kian berlomba dengan waktu―meski harus menguangkannya. Demi kecepatan dan kualitas, meski harus memaksakan, dan membiarkan roda terus berjalan, kemudian menjadi aus.
Manusia Abad Dua Satu tidak mau repot. Repot bergerak saat sudah bisa mendekatkan jarak. Lupa kalau seringng manjauhkan yang dekat karena terlalu sibuk mendekatkan yang jauh.
Dunia sungguh seperti roda, yang berputar dan menjadi terbalik posisinya. Roda terus berjalan walau sedikit demi sedikit mulai kempes, karena tidak ada ynag sampai akal memompanya. Akalnya sudah habis digunakan untuk mencari cara menggalang kepedulian tehadap lingkungan, meski pada akhirnya hal-hal seperti itu hanya menjadi alasan demi mendapatkan sebuah eksistensi atau status. Ya, Manusia Abad Dua Satu sangat mahfum dengan eksistensi.
Maka dunia bukan lagi mengenai kepedulian, melainkan laju peradaban. Ketepatan, efisiensi, eksistensi, dan kualitas menjadi indikatornya. Praktis, cepat dan dekat adalah tujuannya. Manusia Abad Dua Satu tidak suka berbasa-basi, meski demi reboisasi harus pintar melobi agar dapat tambahan gaji. Meski demi rebosisasi harus pasang status agar dapat eksistensi. Meski demi pasang status harus sibuk cari sinyal wifi agar hemat. Meski untuk hemat, aksi menjadi kehilangan esensi karenanya.

Monyet Abad Dua Satu
            Satu pohon, dua pohon, seribu pohon. Jumlah yang tidak sebanding dengan populasi manusia. Andai saja penanaman pohon bisa dilakukan secara online. Andai saja satu pohon akan ditukar dengan satu follower di twitter. Andai saja satu like di facebook bisa dengan otomatis menanam satu pohon.
Andai saja Manusia Abad Dua Satu tidak banyak pikiran. Andai mereka bisa online lewat pohon. Andai seluruh akar pohon terangkai membentuk sebuah jaringan tingkat dunia. Andai menebar benih semudah menyebarkan informasi di internet.
Andai Manusia Abad Dua Satu juga membawa monyet ke abad dua satu. Tidak, jangan, nanti kafe penuh monyet. Andai saja setiap bytes sinyal wifi bernilai satu bibit pohon.
Andai saja pohon memproduksi sinyal wifi. Sayang, ia hanya bisa memproduksi oksigen yang kita gunakan untuk bernapas…

No comments:

Post a Comment