Pendidikan Lintas Zaman
(Laskar
Pelangi: Berpetualang dengan Mesin Waktu)
Oleh Saveera Vivid
Karya
Sastra dan Sepatu
Seperti sepatu, karya sastra
telah berkembang dari waktu ke waktu. Setiap karya sastra merangkum kisahnya
masing-masing, ada yang lahir dalam bentuk buku, cerita pendek yang muncul di
koran maupun majalah, hingga yang tersebar bebas melalui jaringan elektronik.
Mulai dari anak yang baru bisa membaca hingga para lanjut usia pun dapat
menikmatinya.
Seperti halnya sepatu, karya
sastra dapat menggiring pembacanya ke tempat-tempat yang tak pernah mereka
temui sebelumnya, atau bahkan ke tempat-tempat yang biasa mereka temui namun
tak pernah benar-benar dijamah. Sepatu-sepatu inilah yang beberapa tahun
terakhir menjadi daya tarik penulis dalam melahirkan suatu karya; sepatu yang
akan membawa pembaca mereka kepada tujuan akhir, yakni sebuah realitas atau
pesan-pesan khusus. Ada sepatu yang berat ketika digunakan, ada pula yang
begitu ringan hingga sangat nyaman dipakai berlari. Sama seperti karya sastra;
ada yang harus dicerna sedemikian rupa hingga para pembacanya mengerti, ada
pula yang dapat dipahami dengan mudah sehingga tujuan yang dimaksud dapat lekas
dicapai. Hal-hal tersebut sama sekali tak akan mempengaruhi nilai dan keindahan
karya sastra, meski apresiasi dari setiap pembaca dapat berbeda-beda tergantung
pada cara mereka memandang dan bersikap.
Indonesia
sangat beruntung karena memiliki keberagaman yang begitu kompleks dan menarik
hingga tak pernah habis untuk dikupas. Berbagai kebudayaan dan persoalan
memiliki daya tarik masing-masing untuk kemudian menjadi bahan utama pembuatan
karya-karya sastra. Permasalahan klasik seperti derajat sosial yang kerap
dianggap tak adil, persoalan androginitas yang masih sering ditemui di tengah
pengakuan atas persamaan hak pria dan wanita, serta berbagai tema mengenai
moral dan pendidikan telah mendominasi berbagai karya sastra di Indonesia.
Tidak ketinggalan Laskar Pelangi, bagian pertama dari tetralogi legendaris
karya Andrea Hirata.
Paradoks
Pendidikan
Boleh
diakui, novel yang ditulis pada tahun 2005 bahkan telah difilmkan tersebut berhasil
memukau banyak kalangan. Muncul sebagai pendatang baru di dunia sastra, Andrea
Hirata yang kala itu usai merampungkan studinya di Sorbonne, Paris, memilih
untuk mengangkat tema pendidikan dan kaitannya dengan permasalahan ekonomi
sebagai bahan pembuatan ‘sepatu’nya. Dengan menuangnya dalam bentuk cerita
sehari-hari (bisa dibilang setengah otobiografi) Andrea sukses menampilkan
imaji yang nyata dan tersentuh oleh para pembaca.
Tujuan yang dipilih Andrea mengajak
para pembacanya mendatangi ‘tempat-tempat’ yang sangat familiar namun
kenyataannya bobrok dan tidak terurus, yaitu pendidikan. Kisah dibuka dengan membiarkan
pembaca terjun bebas ke dalam keadaan memprihatinkan yang dialami para tokoh
utama; kesepuluh anak miskin yang berjuang pergi ke sekolah demi berkenalan
dengan pendidikan, yang kemudian disebut dengan Laskar Pelangi. Sekolah yang
sebenarnya sudah tidak layak lagi dianggap sebagai gedung tempat berlangsungnya
kegiatan belajar mengajar karena hampir roboh. Sekolah Dasar yang bahkan
terpaksa menerima anak yang terbelakang mentalya karena harus memiliki cukup
peserta didik untuk diakui sebagai sekolah. Realita yang sungguh memukul rata pandangan
pembaca tepat ketika memulai novel tersebut.
Pandangan tentang pendidikan
yang selama ini masih berkabut seperti diperjelas dengan beberapa paradoks
tajam; betapa sulitnya mengenyam pendidikan di daerah terpencil seperti pulau
Belitung, betapa tekanan ekonomi berdampak besar terhadap pendidikan, serta
betapa pun sulitnya, mereka tetap berusaha dan tidak putus asa. Hal ini begitu
berbanding terbalik dengan keadaan awam yang selama ini terlihat; sekolah yang
berdiri tegak dimana-mana, pelajar-pelajar yang muncul dengan prestasinya,
hingga sekolah dengan berbagai kasus dan pelanggaran, atau bahkan benyaknya
keluarga kurang mampu yang menyerah begitu saja dan cenderung melepas anak
mereka untuk menjadi tenaga kerja maupun gelandangan.
Tekanan
ekonomi dan sosial juga diperlihatkan melalui keadaan Pulau Belitung yang saat
itu menjadi penghasil timah. Bagaimana pulau dengan sumber daya alam yang
sangat kaya tidak bisa menyamaratakan derajat ekonomi dan pendidikan. Terlihat
pula melalui perbedaan kualitas pendidikan dan fasilitas sekolah milik SD PN
Timah dengan SD Muhammadiyah (tempat Laskar Pelangi bersekolah). Selanjutnya
kondisi-kondisi tersebut membuka satu persatu mata hati pembaca untuk ikut
berempati dalam keadaan yang digambarkan penulis.
Contohnya
ketika diceritakan seorang tokoh bernama Lintang, yang sepertinya menjadi pusat
empati dalam novel tersebut. Lintang adalah anak seorang nelayan yang tinggal
di pesisir Pulau Belitung, yang rela mengayuh sepeda 70 km setiap harinya demi bersekolah. Sedikit banyak, Andrea menyisipkan hal-hal yang bertujuan untuk menyentuh hati pembacanya sebagai batu loncatan untuk membuka mata hati yang diajak berempati.
Mesin
Waktu
Membaca Laskar Pelangi sama
seperti diajak berpetualang melintasi lorong waktu. Pembaca seperti ikut
langsung dalam jalannya cerita. Tak hanya menghadirkan suasana prihatin atau
haru, Laskar Pelangi juga memunculkan kisah-kisah lucu yang membuat pembaca
tertawa tergelak-gelak dengan bahasanya yang khas. Penulis mampu membuat
‘sepatu’ yang cukup fleksibel untuk mengajak pembaca menilik masa kecil dari
anggota Laskar Pelangi, karena kisah tidak melulu merunut dari yang satu ke
kisah yang lain. Maka dapat digambarkan penulis seperti menyodorkan
keping-keping puzzle yang nantinya
akan membentuk sebuah kesimpulan di akhir cerita.
Andrea Hirata memang menggunakan
bahasa yang cukup unik dalam mengekspresikan dialog dalam Laskar Pelangi, yakni
dengan menggunakan bahasa asli Pulau Belitung, Bahasa Melayu. Penggunaan bahasa
melayu tersebut bisa jadi mempersonalisasikan pembaca pada setting dan
kebudayaan di Pulau Belitung.
Dari segi alur, Andrea
menggunakan alur campuran (seperti novel pada umumya) karena lebih sesuai untuk
menempatkannya dalam berbagai relasi waktu. Contohnya untuk menggambarkan
jawaban atau alasan terhadap suatu peristiwa.
Pendidikan
Lintas Zaman
Laskar Pelangi dengan sepatu
dan mesin waktunya adalah terobosan menarik dalam dunia sastra. Selain berlatar
di lokasi-lokasi yang benar-benar ada, karya sastra yang mendapat lebel best seller tersebut terbilang sangat
nyata dalam penggambaran visualnya sehingga dapat difilmkan. Pendidikan yang
telah dipadukan bersama empati berusaha menginspirasi pembaca oleh
ketidakmustahilan dalam mewujudkan impian yang tinggi, walau kita berfikir
tidak memiliki apa-apa sekalipun. Meski di awal kisah, diceritakan bahwa Ikal
(Aku), tokoh utama, sangat kesulitan untuk mengenyam ilmu, ia pun berhasil
mendapatkan apa yang ia impikan selama ini.
Andrea yang tanpa sadar
menyatu dengan sosok Ikal memberi gambaran nyata bagaimana seorang yang
mendapat beasiswa S2 di Sorbonne, Paris, setelah dulunya hampir putus sekolah
akibat sekolah dasarnya kekuarangan murid. Anak melayu yang menyelesaikan studi
di Benua Eropa, tempat yang sangat jauh dari Pulau terpencil bernama Belitung,
berhasil mendapat gelar cum laude. Anak
melayu miskin yang bahkan Ayahnya tidak bisa menulis menggunakan Bahasa
Indonesia.
Laskar Pelangi mengajarkan
betapa pentingnya dedikasi kita terhadap pendidikan. Betapa pentingnya sebuah
tonggak bernama pendidikan yang sanggup mewujudkan apa yang kelihatan tidak
mungkin. Betapa pendidikan dapat menjungkirbalikan nasib seseorang. Betapa kekuatan
mimpi dan tekad sangat berpengaruh dalam keberhasilan setiap orang, hal yang
sudah mulai dilupakan akibat mudahnya pemenuhan kebutuhan ada zaman sekarang.
Laskar Pelangi memang
mengambil latar beberapa tahun lampau, namun kondisi pendidikannya tidak jauh
berbeda dari zaman sekarang. Bukan hanya pendidikan materi maupun fisik, namun
juga pendidikan moral dan kepedulian. Seperti yang kita hadapi sehari-hari
sebagai orang terpelajar, hal-hal klise seperti ini justru seringkali tidak
terjamah. Banyak yang masih mengabaikan pendidikan sebagai sarana menaikkan
derajat bangsa. Banyak pula yang mengganggap pendidikan sebagai formalitas
belaka. Bahkan ada yang secara ekstrim menyalahgunakan pendidikan secara kasat
mata.
Inilah yang ingin Andrea
Hirata kupas; bahwa pendidikan adalah sebuah pegabdian dan dedikasi. Pendidikan
haruslah mengandung tekad dan kemauan, bukan saja menjadi kewajian belaka.
Pendidikan adalah hak setiap orang, maka orang-orang bijaklah yang dapat
memandang serta menggunakan haknya dengan cermat. Pendidikan bukanlah ajang
persaingan jahat, namun media di mana setiap orang dapat memaksimalkan kemamuan
dan keingintahuannya terhadap ilmu guna menunjang segala aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Andrea membuktikan bahwa pendidikan
tak selalu milik mereka yang mempunyai uang, bukan hanya milik mereka yang mampu
membaca, melainkan diperuntukkan bagi semua orang yang mempunyai rasa ingin
belajar yang kuat.
Melintasi zaman, Laskar Pelangi
menunjukkan kisah yang begitu hidup mengenai mimpi, tekad, keinginan, kegigihan,
dan perjuangan. Sepuluh sahabat kecil yang bukan saja mengajak seluruh dunia
ikut bermimpi, namun juga percaya dan bersama-sama merealisasikan impian
tersebut.
Membaca Laskar Pelangi tidak
hanya membuat kita berpetualang dan belajar, namun juga tersadar dari tidur
panjang. Bersama kisah anak-anak melayu dari pulau terpencil, novel pembuka
tetralogi karya Andrea Hirata ini sekaligus membuka mata hati setiap orang,
termasuk mereka yang menaruh dedikasi tinggi terhadap pendidikan dan ekonomi,
dan kepada mereka yang percaya ekonomi bukanlah batasan untuk mengenal
pendidikan.
Akhirnya bisa bawa pulang piala individu pertama buat sekolah. Ya, walaupun gak seberapa dibanding prestasi-prestasi keren temen-temen yang lain. Teks di atas baru aku buat beberapa jam sebelum deadline, sehubung sekolah *maksudnya si Wicak & Januar* juga ngasih tahunya super telat telat banget kalo kami diutus buat bikin ini. Kebetulan juga waktu itu mati lampu dan laptop bocor. Puji Tuhan menjelang pagi lampu nyala dan aku bangun. Walau gak tidur dan gak pegang novelnya, naskah selesai juga. (Waktu itu memang judul-judul karya sastra yang boleh diulas udah ditentuin, dan dari semua judul, hanya 1 yang substansinya masih aku ingat di luar kepala--dan mungkin yang termudah. Berguna juga pernah baca di kelas 7.)
Sabtu pagi.
Aku bangun dengan wacana mau bangkong. Tapi Radio Asrama kayaknya gak tega liat anak males semacam ini. Apalagi dengan opening songnya yang cetar itu...
Bangun Pemudi Pemuda Indonesia
Lengan bajumu singsingkan untuk negara
Masa yang akan datang kewajibanmulah ...
Akhirnya kelop-kelop di kasur...
Opening song Radio Asrama berakhir, dan aku masih kelop-kelop di kasur. Tiba-tiba si Niken ngasi pengumuman,
"Kepada Saveera Vivid dan Pangestu Soekarno diharapkan segera berkumpul di depan Gedung A karena rombongan akan segera berangkat menuju SMAN 2 Malang."
Aku bengong.
Aku gak tau kalo ada acara ke sana segala. Aku bahkan belum mandi (akhirnya berangkat pun tanpa mandi hehe). Fast forward ke Opening Ceremony, diumumkanlah 10 besar naskah terbaik yang akan maju ke babak presentasi dan aku udah siap-siap banget mau ke Matos buat nonton. But I was called.
Udah gak mandi, less prepared, nggueletek dewe (yang lain pake Pramoedyalah, Ahmad toharilah, Sutan Takdir Alisyahbanalah) aku megang novelnya aja enggak. Ya Tuhan ngapain kamu pod di situ.
Pun aku gak bawa naskahnya, gak bawa laptop, gak bawa apa-apa. Nyesel banget belum mandi.
Rileks.
10 Finalis masuk ke dalam ruangan. Masing-masing diperbolehkan mengambil kertas kosong. Apa yang harus aku lakukan? Aku bengong. Akhirnya aku menggambar pemandangan... yang akhirnya ta pake buat media presentasi.
Puji Tuhan, pertanyaannya beda dari yang lain dan bikin semangat jawabnya. Hehe.
Sambil menunggu pengumuman, aku, Ipang dan Evi sempet keluar ngambil duit... di tengah jalan balik, kita iseng-iseng nyobain payphone pinggir jalan yang ternyata masih berfungsi! Terus si Evi jailin nomor nyasar pake sok-sokan salah pencet hahaha.
Empat piala dibawa pulang sekolah kami, 1 untuk ajang Presenter/MC, 1 buat ajang Pidato, dan 2 buat LMKS.
Well, kemaren itu nyenengin banget. Di akhir hari aku lupa kalo belum mandi. Ngobrol hal-hal menarik bareng Sista dan Evi, ngakak bareng Ipang, sampe gila di angkot. Thanks ya rek, you made my day banget lho. Thanks God for the gift :') ...finally.
No comments:
Post a Comment