Friday

Saat langit terasa teduh dan alam mengalun syahdu.

Kosong.

Kemarin aku merombak tatanan interior kamar kosku. Tatanan kali ini membuat ruangan menjadi jauh lebih luas dan lega.

Tapi kosong.

Tidak, aku tidak suka banyak perabot atau sesuatu yang terlalu berbau ibu-ibu. Maksudku, aku jauh lebih suka saat semuanya ada secukupnya, sebutuhnya dan sekeringnya. Jarang ada peralatan dapur—aku tidak suka ada ‘dapur di dalam kamar’. Aku juga kurang suka kasur berdipan, maka dari itu keluarga mencarikan kasur setebal 25 cm yang proporsional untuk diletakkan tanpa sanggaan papan.

Lalu aku punya lebih dari 2 cermin. Hal ini membiaskan ruang hingga terlihat lebih luas dan lega.

Tapi kosong.

Sama halnya dengan dipan, aku sangat membatasi penggunan benda berkaki lain seperti meja dan kursi. Aku hanya memiliki satu meja untuk meletakkan tv, tv pun aku memilih yang kuno koleksi tante. Membuatku merasa anak kos, bukan anak kuliah yang memindah kamar rumahnya ke kota rantauan. Hanya ada satu rak yang kuletakkan di bawah, tidak kugantung. Tidak kurusak tembok kamar dengan banyak paku. Juga tidak ada meja rias karena cermin beserta pigura-pigura kutata dengan meletakkannya sedemikian rupa. Aku sedang mencari kursi dakron berbentuk bola mlepem yang biasa digunakan lesehan. Tapi pun aku tidak terlalu membutuhkannya. Intinya, aku tidak suka membuang-buang ruang.

Aku selalu memasukkan jendela-yang-mengarah-ke-dunia-luar sebagai hal wajib pada daftar rikuairmen kos. Karena aku lebih suka cahaya matahari ketimbang lampu. Membuat aku merasa tidak terlalu mirip manusia-robot yang hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan, terus melakukan dan hanya melakukan. Aku tidak ingin merasa sekosong itu.

Tapi kenapa sekarang malah aku merasa kosong. Sangat. Kosong.

Barusan aku bangun dari tidur-tidak-seutuhnya-ku.

Kupandangi celah pintu lalu berjalan kearahnya. Kosong.

Tidak ada suara.

Kududukan diriku pada undakan ubin.

Hanya ada bebauan dan suasana yang membuatku sesak. Bukan sesak karena nelangsa. Suasana ini terlalu ramah dan indah, membuatku semakin kesepian karena merasa sendirian.

Lalu bau itu melintas. Bau telur kecap goreng. Entah siapa yang tega membuatnya saat aku sedang rindu rumah. Bau sakral itu, berbaur dengan udara basah dimana hujan tengah menggantung—siap untuk turun, langit yang teduh, alam yang syahdu.. benar-benar musim yang sayang dilewatkan dengan kekosongan.

Aku rindu rumah. Aku rindu masa kecil yang teramat indah. Meski tanpa keluarga yang sempurna, hanya mamah tanpa papah. Meski aku pun rindu duduk di belakang mobil dengan papah, menikmati kota Bandung setelah hujan. Menikmati ibu kota di malam hari. Melihat mamah dengan papah bukan mamah tanpa papah saja seperti sekarang. Dan seterusnya.

Tapi aku juga rindu masa kecil setelah hanya ada mamah. Berkeliling jogja dengan tante-tanteku, adiknya mamah. Menyusuri tiap sudut kota saat belum terjamah ke-karta-annya. Saat jogja masih Jogja dan bukan Jog-jakarta. Saat pendatang-pendatangnya masih ramah dan melepas kemetropolitan kota asal mereka, membaurkan diri dengan kerendahhatian kota istimewa, meramaikan malam tanpa ingar bingar dan foya-foya.

Saat angkringan lebih berjaya dibanding kafe, hotel atau jedub-jeduban. Saat mahasiswa lebih sering mendatangi karya seni dan konser dibanding makan dan berfoto-ria. Saat kota ini memperkaya dirinya sendiri dengan budaya dibanding kemewahan harta.

Saat makan bakso di pinggir jalan setelah hujan terasa seperti surga. Saat makan brongkos di selatan istana terasa seperti cendera mata bernama rasa-kangen-jogja dan ke-jogja-annya.

Saat lebih banyak kendaraan umum dan sepeda kayuh dibanding motor dan mobil yang diisi hanya seorang penumpang yang membuat kota ini semakin meninggalkan jog menuju jakarta.

Saat deresan masih identik dengan sahabat-sahabat yang bercerita sambil minum jus.
Saat mahasiswa seni masih menjadi dewa-dewa yang karyanya menghiasi jalan-jalan.
Saat tanteku masih belum berkeluarga.
Saat aku masih kanak-kanak dan belum mengenal konsep mandiri.
Saat mereka masih mengajakku kemana pun kebebasan mengatas-nama.
Saat aku belum mengenal konsep ketidakcocokan.
Saat aku belum mengenal konsep memperhitungkan uang saku.
Saat ada teman di sekelilingku.

Saat....

Saat jogja menjadi tujuan pulang seluruh hati yang menantikan kebebasan.

Back again to the city where every heart sets free, kutulis suatu hari pada path saat berangkat ‘pulang’ ke jogja.

Keramahannya. Kerendahhatiannya. Kebudayaannya. Kesederhanaannya. Kemembumiannya. Ketulusannya. Ketahudiriannya. Keseniannya. Kecantikannya. Jogja, dan seribu alasan mengapa padanya disematkan kata istimewa.

Aku rindu merasa di rumah. Aku ingin keluar dari penjara bernama rutinitas, menemukan canda dan tawa di tetes-tetes kuah bakso di pinggir jalan setelah hujan.

Aku rindu melihat kelegaan saat langit terasa teduh dan alam mengalun syahdu.

Aku rindu sesosok sahabat yang gemar merakit kenangan pada celah-celah keserhanaan, yang padanya bergantung ketulusan.

Yang selalu ada, yang selalu mau, yang selalu rindu.

Ada di sekitar, mau meretas keadaapaan dari keapaadaan, dan rindu melagukan nikmat yang didapat cuma-cuma.

Di rintik-rintik hujan dan langit yang merekah.
Di sela-sela jalanan kampung yang ramah.
Di atap-atap rumah yang basah.
Di sisa-sisa hati yang resah.
Di sore yang indah.

Di kesederhanaan yang mewujud
rumah.

3 comments:

  1. Keramahannya. Kerendahhatiannya. Kebudayaannya. Kesederhanaannya. Kemembumiannya. Ketulusannya. Ketahudiriannya. Keseniannya. Kecantikannya. Jogja, dan seribu alasan mengapa padanya disematkan kata istimewa.
    Untuk mengingatkannya, terimakasih *wink*

    ReplyDelete
  2. at business law class with Showfil, enjoying ur bacaan ringan yang sampeyan tulis. keep grinding fellas! *wiggle*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hey duo emak! haha cant believe you two menyempatkan diri membaca tulisan tulisan tidak bersubstansi ini. pas kelas lagii but thank youu

      Delete