(Pelengkung Wijilan, tempat sesaji diletakan)
Sesaji, memang erat dikaitkan dengan konteks bahasa rasa syukur atas limpahan rejeki dari Tuhan Yang Maha Esa. Adapun hal ini juga sebagai ungkapan untuk menolak dari datangnya bencana atau melindungi dari marabahaya. Manusia memiliki caranya sendiri untuk dapat mengungkapkan rasa syukur dan kegelisahannya kepada semesta. Istilah sesaji ini, memang sudah tidak asing di telinga kita. Sejak jaman dahulu, bahasa ini ada dan memang diturunkan dari nenek moyang kita hingga menjadi sebuah tradisi. Tradisi ini yang sebenarnya sudah menepi secara perlahan karena arus modernisasi.
Melihat peristiwa ini sebenarnya juga menjadi menarik untuk dikaitkan dengan konteks Yogyakarta hari ini. Kota yang terkenal dengan tradisi budayanya ini, kini dihadapkan dengan kebudayaan masyarakat milenial. Yang mana kondisi masyarakatnya sudah sangat berkembang pesat sejalan dengan dengan perkembangan teknologi. Hal-hal yang demikian pun, akhirnya tidak lagi akrab di kehidupan mereka. Jika masih ada pun, hanya orang tua atau kalangan tertentu yang masih melestarikan ritual ini.
No comments:
Post a Comment